Oleh ustadz Donny Arif
(http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2017/09/menggugat-arogansi-parasit-oknum.html)
***
Bhineka Tunggal Ika, kebhinekaan, pluralitas/pluralisme, dan toleransi adalah kata-kata popular yang muncul di berbagai media. Apalagi semenjak partai merah berkuasa – setelah (katanya) 10 tahun ‘puasa’ –, kata-kata tersebut menjadi jauh lebih sering dan nyaring. Apakah salah?. Tidak sepenuhnya salah. Yang jadi salah (diantaranya) muncul kecondongan penafsiran kebhinekaan dalam bentuk pluralisme agama. Sebagaimana jamak diketahui, paham pluralisme sendiri sangat ditentang oleh Majelis Ulama Indonesia melalui fatwanya yang telah dirilis beberapa tahun silam.Alhamdulillah, banyak kaum muslimin Indonesia masih memegang fithrahnya menolak pluralisme agama. Banyak pula tokoh dan kiyai kita, terutama dari kalangan NU, yang memahami pluralisme hanya sekedar sikap sosial saling menghormati pemeluk agama lain tanpa meyakini eksistensi kebenaran majemuk semua agama. Hanya Islam agama yang benar. Sekali lagi, patut kita syukuri.
Tentu ada pengecualiannya dari kalangan oknum – baik individu maupun kelompok, besar atau kecil – yang menyimpang dari garis normal tersebut. Di satu sisi mereka dengungkan secara keras keberagaman dan toleransi secara eksternal, di sisi lain sangat primitif dalam masalah toleransi secara internal.
Betapa tidak ?!.
Dengan suka dan rela gereja-gereja dijaga dan diamankan, agar orang yang melakukan ibadah kesyirikan di dalamnya merasa nyaman. Sementera saya yakin mereka pernah melewati bacaan ayat Al-Qur’an:
لَّقَدۡ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡمَسِيحُ ٱبۡنُ مَرۡيَمَ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah ialah al-Masih putra Maryam’” [QS. Al-Maaidah : 17 & 72].
لَّقَدۡ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ ثَالِثُ ثَلَٰثَةٖۘ وَمَا مِنۡ إِلَٰهٍ إِلَّآ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۚ وَإِن لَّمۡ يَنتَهُواْ عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah salah satu dari yang tiga, padahal sekali-kali tidak ada Rabb (yang berhak disembah) selain Rabb Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih” [QS. Al-Maaidah : 73].
Dengan suka dan rela mereka melakukan doa bersama lintas agama dengan berbagai motif untuk sekedar simbol toleransi dan persatuan. Mungkin saja prinsipnya‘berbeda-beda tuhan namun tetap dikabulkan jua’. Saya yakin, Anda tidak membenarkan apa yang mereka lakukan karena MUI telah mengeluarkan fatwa bid’ah dan haramnya acara tersebut dengan rincian:
1. Doa bersama yang dilakukan oleh orang Islam dan non-muslim tidak dikenal dalam Islam. Oleh karenanya, termasuk bid’ah.
2. Doa Bersama dalam bentuk “Setiap pemuka agama berdoa secara bergiliran” maka orang Islam haram mengikuti dan mengamini doa yang dipimpin oleh non-muslim.
3. Doa Bersamadalam bentuk “Muslim dan non-muslim berdo’a secara serentak” (misalnya mereka membaca teks doa bersama-sama) hukumnya haram.
4. Doa Bersama dalam bentuk “Seorang non-Islam memimpin doa” maka orang Islamharam mengikuti dan mengamininya.
5. Doa Bersama dalam bentuk “Seorang tokoh Islam memimpin doa” hukumnya mubah.
6. Doa dalam bentuk “Setiap orang berdo’a menurut agama masing-masing” hukumnya mubah.
Bagaimanakah sikap mereka terhadap kaum muslimin yang berbeda paham dengan mereka ?. Saya ajak membaca sebagian fakta yang sempat booming:
1. Pengambilalihan paksa Masjid As-Salam yang dikelola Muhammadiyyah (sertifikat Nomor 3 tanggal 23/9/2008 atas nama PC Muhammadiyah Cengkareng) di Cengkareng Barat (27/2/2015) yang ditindaklanjuti dengan tindakan arogan moncoret plang masjid, memaksa menggelar seremoni maulid yang dihadiri habaaib dan massa (dimana tradisi ini tidak dilaksanakan oleh Muhammadiyyah), mengganti khathib dan imam secara sepihak, dan lainnya (selengkapnya :http://sangpencerah.id/2015/02/kronologis-penyerobotan-masjid/).
Kasus ini sempat menghebohkan jagad media yang akhirnya dapat diselesaikan secara damai.
2. Ittihadul Ma’ahid Muhammadiyah (ITMAM/Persatuan Pondok Pesantren Muhammadiyah) yang sedang mengadakan Daurah Tahfidzul-Qur’an (program dua bulan dengan target hafal 30 juz) di Karimunjawa, Jepara; dibubarkan paksa. Diantara alasannya adalah ketiadaan IMB (https://goo.gl/UHHPHk danhttps://goo.gl/R4Kj88). Memang terkesan mengada-ada (baca : dibuat agar ada), karena masjid-masjid yang dikelola NU pun banyak yang belum ber-IMB. Passionmereka hanyalah menyasar ke masjid-masjid non-NU.
3. Mendemo dan menolak pembangunan (kembali) Masjid Imam Ahmad bin Hanbal Bogor yang telah memiliki IMB. Padahal, masjid ini telah berdiri semenjak 2001. Mungkin karena melihat celah peluang menolak masjid ketika masih berdiri kecil, maka ketika masjid dirobohkan untuk direnovasi dengan memperbaharui IMB, peluang itu ada dan tak mereka sia-siakan. ‘Cerdas’. Dengan modal hasutan (wahabi, eksklusif, bukan masjid umum, dll.), terkumpullah massa untuk melakukan demo di kantor Wali Kota (29/8/2017) yang akhirnya atas desakan itu Walikota akan membatalkan IMB Masjid Ahmad bin Hanbal yang telah diperoleh secara sah (https://goo.gl/dcG9zW, https://goo.gl/pddQm5, dan https://goo.gl/NKz576).
4. Perobohan dan perebutan tanah waqaf Masjid Al-Ikhlash/Baitul-Muttaqin Muhammadiyyah di Dusun Jimus, Desa Pule, Kecamatan Modo, Lamongan pada tahun 1993 oleh sekelompok warga yang merasa mayoritas. Masih di wilayah yang sama, pembangunan masjid baru Muhammadiyyah mengalami berbagai tekanan dan gangguan sebelum akhirnya dapat diresmikan pada tanggal 15 Agustus 2017 (https://goo.gl/cYQG3S dan https://goo.gl/XFS9pj).
5. Demo pada bulan Mei 2014 terhadap pengurus Mushalla An-Nurjannah Desa Yunyang, Kecamatan Modo, Kab. Lamongan (H. Darim) yang dikatakan ‘mendominasi’ kegiatan masjid. Para pendemo berhasil menonaktifkan H. Darim dan melarangnya menjadi imam. Padahal H. Darim hanya mengaktifkan mushalla yang selama ini cenderung vakum dan kemudian mengadakan pengajaran agama untuk warga sekitar. Kegiatan ini sudah berlangsung selama 14 tahun tanpa ada warga sekitar yang protes dan merasa terganggu. Lalu datanglah kelompok yang mengatasnamakan warga (?) yang melakukan apa yang mereka lakukan.
Setelah 2 bulan dilarang melakukan aktivitas, datang bantuan dari Yayasan Bina Muwahhidin untuk membangunkan masjid di tempat tersebut. Masjid tersebut sekarang telah berdiri dan dinamakan Masjid Jauharo Ali Muhammadiyah (https://goo.gl/sCFFjF).
6. Dan yang lainnya.
Ini hanya segelintir contoh yang dapat ditelusuri di internet. Yang lain masih banyak. Apalagi cerita berdasarkan pengalaman individu. Sengaja saya ambilkan mayoritas contohnya adalah kasus Muhammadiyyah vs (oknum) NU, karena lebih gampang diindera dan dibuktikan. Konflik klasik yang sudah berusia 1 abad semenjak kelahirannya.
Warga Muhammadiyyah mengakui Wahabi era dulu sangat diidentikkan dengan mereka (https://goo.gl/U814uX). Begitu juga kaum kaum tradisionalis aswaja yang dalam hal ini diwakili oleh suara Habib Munzir ketika menjawab pertanyaan kaitan Muhammadiyyah dengan Wahabi. Habib Munzir secara jelas menyatakan : “Muhammadiyyah tidaktermasuk salah satu dari Madzhab Ahlussunnah waljamaah, karena banyak hal yg mereka tentang, dan Muhammadiyyah ini hanya ada di indonesia saja, di negeri lain dikenal dengan sebutan wahabi, dan faham wahabi ini bertentangan dengan 4 Madzhab Ahlussunnah waljamaah” (https://goo.gl/K4ZUCt atau https://goo.gl/DjUY8Q). Walhasil, kaitan Muhammadiyyah dengan stigma Wahabi di sini valid karena ada statement dari objek maupun subjeknya.
Telinga kaum tradisonalis aswaja (NU) kerap memerah apabila mendeteksi sinyal 4G dakwah Wahabi Muhammadiyyah memberantas TBC, takhayyul-bid'ah-churafat. Menilik sejarahnya, tidak terlalu mengherankan karena pemicu didirikannya NU sendiri diantaranya adalah untuk menghadapi ‘Wahabisme’ yang kala itu – menurut Masdar F. Mas’udi – menguasai Arab Saudi (https://goo.gl/9HyGm7). Sentimen yang terjadi di Timur Tengah ditarik ke dalam negeri untuk mengimbangi ormas yang lebih dahulu lahir yang diklaim sebagai duplikasi Wahabi Saudi.
Konflik fisik berupa penyerangan dan pengusiran oleh oknum Aswaja (NU) yang merasa mayoritas bukan sesuatu yang aneh buat warga Muhammadiyyah. Sebagian konflik ini telah direkam dalam beberapa tulisan/penelitian akademik, diantaranya:
2. Skripsi berjudul : KONFLIK dan INTEGRASI : Antara Penganut NU dan Muhammadiyah di Dusun Sumber Langgeng Kel. Sumberejo, Kec. Pakal, Kota Surabaya. http://repository.unair.ac.id/18382/.
Atau konflik kaum tradisionalis aswaja versus ‘Wahabi’ versi lain, seperti Persis sebagaimana dilakukan Ayub (2011) untuk studi kasus di Kelurahan Mekarsari, Depok (http://repository.uinjkt.ac.id/).
Semakin lama, area konflik semakin melebar sehingga semua orang, kelompok, organisasi, atau ormas non-tradisional dianggap Wahabi di luar border aliran Aswaja (versi mereka). Muhammadiyyah, Persis, Al-Irsyad, dan terakhir Salafi. Objek-objek ini dianggap mengganggu eksistensi kaum tradisionalis aswaja tanah air - kaum yang menganggap diri paling moderat, Pancasilais, pro-kebhinekaan, dan toleran.
Beberapa masalah yang sering dijadikan media provokasi umat antara lain bid’ah, maulid, tahlil, yasinan, qunut Shubuh, tawassul, ngalap berkah (tabaruk), istighatsah, dan beberapa budaya lokal yang dilakukan masyarakat. Mari kita sekilas melihat substansi sebagian alergen mereka:
1. Bid’ah
Kaum tradisionalis aswaja (NU) maunya ada bid’ah hasanah – selain madzmumah - berdasarkan qaul Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah:
الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُودَةٌ، وَبِدْعَةٌ مَذْمُومَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُودٌ، وَمَا خَالَفَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُومٌ
“Bid’ah itu ada dua macam yaitu : (1) bid’ah yang terpuji, dan (2) bid’ah yang tercela. Maka segala hal yang sesuai dengan sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) terpuji, sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah (bid’ah yang) tercela” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’, 9/113].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berdalil dengan perkataan ‘Umar bin Al-Khaththaabradliyallaahu ‘anhu ketika shalat tarawih di bulan Ramadlaan:
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هِيَ
“Sebaik-baik bid’ah adalah hal itu” [idem].
Adapun non-tradionalis memahami bid’ah itu semuanya tercela, tidak ada yang baik sebagaimana keumuman sabda Nabi ﷺ:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena setiap perkara yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4607; shahih].
Juga perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun orang-orang memandangnya sebagai satu kebaikan (bid'ah hasanah)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 19; sanadnya hasan].
Mu’aadz bin Jabal radliyallaahu ‘anhu:
فَإِيَّاكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلَالَةٌ
“Maka berhati-hatilah kalian dari segala sesuatu yang dibuat-buat (oleh manusia), karena sesungguhnya apa-apa yang dibuat-buat (bid’ah) itu adalah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4611; shahih].
Saya tahu kaum tradisionalis aswaja punya sanggahan. Begitu juga sebaliknya. Masing-masing punya rincian (tafshiil) dari apa yang mereka pahami.
2. Perayaan Maulid Nabi ﷺ
Kaum tradisionalis aswaja maunya merayakan maulid Nabi ﷺ karena dianggap sunnah dan bukti kecintaan mereka kepada beliau ﷺ. Diantara dalil yang mereka pergunakan adalah hadits :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: " قَدِمَ النَّبِيُّ ﷺ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: مَا هَذَا؟ قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ، هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ، فَصَامَهُ مُوسَى، قَالَ: فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ، فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ "
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu : “Ketika Nabi ﷺ tiba di Madinah, beliau ﷺmelihat orang-orang Yahudi berpuasa di hari ‘Aasyuuraa’. Lalu beliau ﷺ bersabda :‘Apa yang kalian lakukan ?’. Mereka (Yahudi) berkata : ‘Ini adalah hari baik. Ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israaiil dari musuh mereka, lalu Muusaa pun berpuasa pada hari itu’. Beliau ﷺ bersabda : ‘Aku lebih berhak terhadap Muusaa daripada kalian’. Maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan (orang-orang) untuk berpuasa” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2004 dan Muslim no. 1130].
As-Suyuuthiy menukil perkataan Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniyrahimahumallah:
أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة ، ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها ، فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة وإلا فلا ، قال : وقد ظهر لي تخريجها على أصل ثابت وهو ما ثبت في الصحيحين
“Hukum asal peringatan maulid adalah bid’ah yang tidak ternukil dari kalangan as-salafush-shaalih yang hidup pada tiga jaman (yang pertama). Namun demikian, peringatan maulid ini mengandung kebaikan dan lawannya. Maka barangsiapa yang , jadi barangsiapa yang berusaha melakukan kebaikan dalam perayaan maulid dan menjauhi lawannya (keburukan), maka itu adalah bid’ah hasanah. Jika tidak seperti itu, maka bukan bid’ah hasanah (tidak bolehdilakukan). Dan nampak bagiku dasar pengambilannya (maulid) atas pokok yang shahih dari riwayat dalam Shahiihain…” [Al-Haawiy lil-Fataawaa].
Kemudian Al-Haafidh menyebutkan riwayat Ibnu ‘Abbaas di atas.
Adapun non-tradisionalis tidak merayakan maulid dan menganggapnya itu bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi ﷺ, para shahabat, taabi’iin, dan at-baa’ut-taabi’iin dari kalangan as-salafush-shaalih – seperti dikatakan Al-Haafidh Ibnu Hajarrahimahullah di atas. Ibnul-Maajisyuun rahimahullah berkata:
سمعت مالكا يقول : "من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة ، فقد زعم أن محمدا – صلى الله عليه وسلم- خان الرسالة ، لأن الله يقول :{اليوم أكملت لكم دينكم}، فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا"
”Aku mendengar Maalik berkata : ‘Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad ﷺmengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ‘Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu’ (QS. Al-Maaidah :5). Maka apa saja yang pada hari itu (yaitu di jaman Rasulullah ﷺ beserta para shahabatnya masih hidup) bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama” [Al-I’tishaam oleh Asy-Syathibi, 1/49].
Seandainya kita berdalil dengan hadits Ibnu ‘Abbaas, maka perbuatan yang seharusnya dilakukan adalah berpuasa, sebagaimana dilakukan Nabi ﷺ dalam riwayat tersebut. Bukan perayaan maulid Nabi ﷺ.
3. Tahlilan dan Yasinan
Konstruksi pendalilan antara tradisionalis aswaja dan non-tradisionalis dalam bab ini polanya hampir sama. Berkisar pada masalah persepsi bid’ah. Masalah menjadi runyam karena sebagian oknum tradisionalis aswaja di tingkat tapak memberikan bumbu provokasi : “Masak berdzikir membaca tahlil dan membaca Al-Qur’an dilarang ?’. Lalu merebaklah bau tak sedap : ‘Wahabi melarang berdzikir dan baca Al-Qur’an’.
Padahal, bukan dzikir dan baca Al-Qur’annya secara umum yang dilarang non-tradisionalis, akan tetapi pelaziman kaifiyyah-nya. Kejadian ini analog dengan atsar Sa’iid bin Al-Musayyib yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq berikut:
عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ أَبِي رِيَاحٍ، عَنِ ابْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ رَأَى رَجُلا يُكَرِّرُ الرُّكُوعَ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَنَهَاهُ، فَقَالَ: " يَا أَبَا مُحَمَّدٍ أَيُعَذِّبُنِي اللَّهُ عَلَى الصَّلاةِ؟ قَالَ: لا، وَلَكِنْ يُعَذِّبُكَ عَلَى خِلافِ السُّنَّةِ "
Dari Ats-Tsauriy, dari Abu Rayyaah, dari Ibnul-Musayyib : Bahwasannya ia (Ibnul-Musayyib) pernah melihat seorang laki-laki memperbanyak rukuknya setelah terbit fajar, lalu ia melarangnya. Laki-laki tersebut berkata : “Wahai Abu Muhammd, apakah Allah akan mengadzabku dengan sebab shalat (yang aku kerjakan)?”. Ia menjawab : “Tidak, akan tetapi Allah mengadzabmu karena menyelisihi sunnah” [Al-Mushannaf 3/52 no. 4755; shahih – lihat Irwaaul-Ghaliil, 2/236].
Jadi ketika Ibnul-Musayyib mengingatkan shalat yang dilakukan laki-laki itu tidak disyari’atkan, tidak lantas disimpulkan dirinya melarang shalat secara umum. Akan tetapi yang dilarang adalah dirinya menyelisihi petunjuk Rasulullah ﷺ. Melakukan apa yang tidak dilakukan Nabi ﷺ, padahal hal yang mendorong beliau untuk itu ada namun tetap tidak beliau lakukan.
Kaum tradisionalis aswaja juga berkata bahwa tahlilan 7 hari berturut-turut ada landasannya dari kaum salaf sebagaimana perkataan Thaawus:
إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا، فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الأَيَّامِ
“Sesungguhnya orang yang meninggal akan terfitnah (diuji) dalam kuburnya selama 7 hari. Dulu mereka (shahabat dan taabi’iin – Abul-Jauzaa’) menyukai untuk memberikan makanan dari mereka (yang meninggal) pada hari-hari tersebut” [Hilyatul-Auliyaa’ 4/11].
Tapi atsar ini lemah tak bisa dipakai sebagai dalil. Begitu menurut kaum non-tradisionalis.
Masih berkaitan, kaum tradisionalis aswaja sering mengadakan kumpul-kumpul kendurian mayit bersamaan dengan penyelenggaraan tahlilan dan yasinan, sedangkan non-tradisionalis tidak. Kaum non-tradisional mengatakan perbuatan ini bukan sunnah dan termasuk bid’ah yang terlarang. Dalilnya adalah atsar Jariir bin ‘Abdillah Al-Bajaliy radliyallaahu ‘anhu:
كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ
“Kami (para shahabat) menganggap menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tamu) termasuk bagian dari niyahah (meratapi mayit)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 1612; dishahihkan oleh An-Nawawiy dalam Al-Majmuu’ 5/285, Ibnu Katsiir dalam Irsyaadul-Faqiih 1/241, dan yang lainnya].
Bahkan Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
وَأَكْرَهُ النِّيَاحَةَ عَلَى الْمَيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَأَنْ تَنْدُبَهُ النَّائِحَةُ عَلَى الِانْفِرَادِ، لَكِنْ يُعَزَّى بِمَا أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الصَّبْرِ وَالِاسْتِرْجَاعِ، وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ، فَإِنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ وَيُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ، .....
“Dan aku membenci perbuatan niyaahah (meratap) terhadap mayit setelah kematiannya dan orang yang meratap tersebut menyebut-nyebut kebaikan si mayit secara tersendiri. Akan tetapi hendaknya ia dihibur dengan sesuatu yang diperintahkan Allah agar bersabar dan mengucapkan kalimat istirjaa’. Dan aku juga membenci berkumpul-kumpul di keluarga di mayit meskipun tidak disertai adanya tangisan, karena hal tersebut akan menimbulkan kesedihan dan membebani materi/bahan makanan (bagi keluarga si mayit)…..” [Al-Umm, 1/248].
4. Tawassul
Tawassul yang dilakukan kaum tradisionalis aswaja cenderung sangat longgar dengan berbagai bentuknya. Adapun non-tradionalis lebih ketat. Diantara titik perbedaan (dan ini bukan pembatas) adalah masalah tawassul dengan kedudukan/hak Nabi ﷺ atau orang-orang shalih seperti ucapan : “Aku memohon kepada-Mu ya Allah dengan kedudukan/hak Nabi ﷺ atau Fulaan…..demikian dan demikian…”.
Tawassul seperti ini memang ternukil dari sebagian ulama. Namun sebagian ulama yang lain melarang dan membencinya sebagaimana dinukil Al-Albaaniy dari kalangan Hanafiyyah rahimahumullah :
فقد جاء في "الدر المختار" "2/630" – وهو من أشهر كتب الحنفية – ما نصه: عن أبي حنيفة: لا ينبغي لأحد أن يدعو الله إلا به، والدعاء المأذون فيه، المأمور به ما استفيد من قوله تعالى: {وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا}. ونحوه في "الفتاوى الهندية" "5/280". وقال القُدوري في كتابه الكبير في الفقه المسمى "بشرح الكرخي" في "باب الكراهة": قال بشر بن الوليد حدثنا أبو يوسف قال أبو حنيفة: لا ينبغي لأحد أن يدعو الله إلا به، وأكره أن يقول: بمعاقد العز من عرشك، أو بحق خلقك، وهو قول أبي يوسف، قال أبو يوسف: معقد العز من عرشه هو الله، فلا أكره هذا، وأكره أن يقول: بحق فلان، أو بحق أنبيائك ورسلك، وبحق البيت الحرام والمشعر الحرام...."
5. Ngalap Berkah
Sementara itu, kaum non-tradisionalis mengatakan perbuatan tabarruk di atas terlarang dan menyelisihi sunnah (bid’ah). Bahkan, berpotensi jatuh pada kesyirikan. Para shahabat membencinya sebagaimana atsar yang teriwayatkan dari Ibnu ‘Umarradliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، " أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَكْرَهُ مَسَّ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah, dari ‘Ubaidullah, dari Naafi’ : Bahwasannya Ibnu ‘Umar membenci mengusap kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam [Diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Aashim Ats-Tsaqafiy dalam Juuz-nya no. 27, dan darinya Adz-Dzahabiy dalam Mu’jamusy-Syuyuukh 1/45 dan As-Siyar12/378; shahih].
Terkait dengan atsar Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy rahimahullah mengatakan :
فصل : ولا يستحب التسمح بحائط قبر النبي صلى الله عليه و سلم ولا تقبيله قال أحمد : ما أعرف هذا قال الأثرم : رأيت أهل العلم من أهل المدينة لا يمسون قبر النبي صلى الله عليه و سلم يقومون من ناحية فيسلمون قال أبو عبد الله : هكذا كان ابن عمر يفعل
“Pasal : Tidak disukai mengusap tembok kubur Nabi ﷺ dan tidak pula menciumnya. Ahmad berkata : ‘Aku tidak mengetahuinya’. Al-Atsram berkata : ‘Aku melihat ulama dari kalangan penduduk Madiinah tidak mengusap kubur Nabi ﷺ, dan mereka berdiri dari sisi mengucapkan salam. Abu ‘Abdillah berkata : ‘Begitulah yang dilakukan Ibnu ‘Umar” [Al-Mughniy, 3/556].
Dalam kitab Kasysyaaful-Qinaa’ disebutkan :
اتَّفَقَ السَّلَفُ وَالْأَئِمَّةُ عَلَى أَنَّ مَنْ سَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ غَيْرِهِ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ الصَّالِحِينَ فَإِنَّهُ لَا يَتَمَسَّحُ بِالْقَبْرِ وَلَا يُقَبِّلُهُ
“Salaf dan para imam telah bersepakat bahwasannya siapa saja yang mengucapkan salam kepada Nabi ﷺ atau selainnya dari kalangan para nabi yang shalih, maka ia tidak mengusap kubur dan menciumnya” [4/439].
6. Dan lainnya….
Dengan melihat uraian di atas, pendapat yang dipegang kaum non-tradisionalis (baca : Wahabi) mempunyai dasar dan pendahulu di kalangan ulama (salaf). Tentu bukan di sini tempatnya untuk merinci pembahasan tersebut. Di sini saya hanya ingin menunjukkan anatomi pemahaman non-tradisionalis dari (sebagian) perkara yang sering dipermasalahkan. Perkara mereka (tradisionalis aswaja) setuju atau tidak setuju, lain perkara.
Non-tradisionalis secara hakekat bukan ‘aliran modern’ yang tidak ada sangkut-pautnya dengan pemahaman ulama sebelumnya. Pemahaman non-tradisionalis bukan ‘ujug-ujug’ ada di abad 19.
Lantas, apakah pas kiranya dikarenakan masalah itu kaum tradisionalis aswaja (NU) membikin-bikin provokasi, teror, intimidasi, okupasi/pendudukan tanah waqaf dan masjid, pengusiran, dan semisalnya? – sementara di sisi lain sibuk dengan propaganda toleransi dan kebhinekaan?.
Sebuah paradoks dan ironi yang nyata. Bahkan arogansi dan penjajahan praktek beragama.
Apakah dipikir semua masjid di Nusantara harus menyelenggarakan perayaan maulid, shalawatan, istighatsahan, dan kegiatan lain yang menjadi ciri khas tradisionalis aswaja (NU) yang secara fiqh tidak disepakati non-tradisionalis ?.
Apakah dipikir ketika tradisionalis aswaja meyakini disunnahkannya sesuatu, yang lain harus setuju atau diam ?. Tidak boleh mengatakan terlarang, haram, atau bid’ah ?. Atau,…. kenapa tidak sebaliknya saja mereka yang mengikuti lawannya ?
Apakah pernah kita temui para ulama dulu melakukan seperti apa yang mereka lakukan ?.
Ketika sebagian ulama Syaafi’iyyah mengatakan dibolehkan perayaan maulid, ‘Umar bin ‘Aliy bin Saalim bin Shadaqah Al-Lakhmiy Al-Iskandariy yang masyhur dengan nama Al-Faakihaaniy (lahir 654 H/656 H) dengan terang-terangan berfatwa bid’ah:
أما بعد : فإنه قد تكرر سؤال جماعة من المباركين عن الاجتماع الذي يعمله بعض الناس في شهر ربيع الأول ويسمونه المولد : هل له أصل في الشرع ، أو هو بدعة وحدث في الدين ؟ ؟ وقصدوا الجواب من ذلك مبينا ، والإيضاح عنه معينا ، فقلت وبالله التوفيق : لا أعلم لهذا المولد أصلا في كتاب ولا سنة ، ولا ينقل عمله عن أحد من علماء الأمة الذين هم القدوة في الدين المتمسكون بآثار المتقدمين ، بل هو بدعة أحدثها المبطلون ، وشهوة نفس اعتنى بها الأكالون بدليل أنا إذا أدرنا عليها الأحكام الخمسة : قلنا إما أن يكون واجبا أو مندوبا ، أو مباحا أو مكروها أو محرما ، وليس هو بواجب إجماعا ، ولا مندوبا ، لأن حقيقة المندوب : ما طلبه الشارع من غير ذم على تركه ، وهذا لم يأذن فيه الشارع ، ولا فعله الصحابة ، ولا التابعون ، ولا العلماء المتدينون فيما علمت ، وهذا جوابي عنه بين يدي الله تعالى إن عنه سئلت ولا جائزا أن يكون مباحا ، لأن الابتداع في الدين ليس مباحا بإجماع المسلمين فلم يبق إلا أن يكون مكروها أو محرما
“Amma ba’du, sungguh telah berulang kali pertanyaan dilontarkan oleh jama’ah orang-orang yang mendapat keberkahan tentang perkumpulan yang dilakukan sebagian orang di bulan Rabii’ul-Awwal, yang mereka namai dengan Maulid (Nabi) : ‘Apakah ia mempunyai asal/dalil dari syari’at? Ataukah ia merupakan bid’ah yang diada-adakan dalam agama ?. Mereka menghendaki jawaban dan penjelasan yang terang tentang perkara tersebut.
Maka aku katakan – wa billaahit-taufiiq - :
Aku tidak mengetahui asal perbuatan maulid dari Al-Kitaab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah. Perbuatan tersebut juga tidak pernah ternukil dari satupun ulama umat yang menjadi teladan dalam agama dan berpegang pada atsar ulama terdahulu. Bahkan perbuatan itu adalah bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang baathil (kalangan Faathimiyyin – Abul-Jauzaa’), serta syahwat jiwa yang diperhatikan oleh orang-orang yang senang makan. Dalilnya, apabila aku menghendaki hukum-hukum syar’iyyah, maka kami katakan : kemungkinan ia wajib, manduub (sunnah), mubah, makruh, atau haram. Perbuatan (maulid) itu bukan termasuk wajib secara ijmaa’. Bukan pula manduub, karena hakekat manduub adalah sesuatu yang dituntut oleh Syaari’ (Allah) tanpa adanya celaan jika meninggalkannya. Adapun perbuatan ini (yaitu maulid) tidaklah diizinkan oleh Syaari’ (Allah), tidak pernah dilakukan para shahabat, taabi’iin, dan ulama yang dijadikan pegangan dalam agama sepanjang pengetahuanku. Inilah jawabanku di hadapan Allah ta’ala jika nanti aku ditanya tentang permasalahan itu. Tidak boleh menjadikan perkara tersebut sesuatu yang mubah, karena berbuat bid’ah dalam agama bukanlah perkara mubah berdasarkan ijmaa’ kaum muslimin. Oleh karena itu, tidaklah tersisa kecuali perbuatan itu dihukumi makruh atau haram........” [Al-Maurid fii ‘Amalil-Maulid, hal. 20-22, Maktabah Al-Ma’aarif, Riyaadl, Cet. 1/1407].
Kita dapat lihat bersama, para ulama tak menjadi bisu dan dipaksa bisu oleh lainnya.
Ketika Asy-Syaafi’iy rahimahullah mengatakan sunnahnya qunut Shubuh secara terus-menerus, tak ternukil dari beliau larangan untuk menyelisihi pendapatnya. At-Tirmidziyrahimahullah memaparkan fakta masa silam dalam permasalahan ini:
وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الْقُنُوتِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ، فَرَأَى بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ وَغَيْرِهِمُ الْقُنُوتَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ، وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ، وَالشَّافِعِيِّ، وقَالَ أَحْمَدُ، وَإِسْحَاق: لَا يُقْنَتُ فِي الْفَجْرِ إِلَّا عِنْدَ نَازِلَةٍ تَنْزِلُ بِالْمُسْلِمِينَ، فَإِذَا نَزَلَتْ نَازِلَةٌ فَلِلْإِمَامِ أَنْ يَدْعُوَ لِجُيُوشِ الْمُسْلِمِينَ
“Para ulama berbeda pendapat mengenai qunut shalat Shubuh. Sebagian ulama dari kalangan shahabat Nabi ﷺ dan selain mereka berpendapat (masyru’-nya) qunut pada shalat Shubuh. Itu merupakan perkataan Asy-Syaafi’iy. Ahmad (bin Hanbal) dan Ishaaq (bin Rahawaih) berkata : ‘Qunut tidak dilakukan pada shalat Shubuh, kecuali jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin. Jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin, maka imam mendoakan (kebaikan/kemenangan) untuk pasukan kaum muslimin”
وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ، وقَالَ سفيان الثوري: إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ، وَاخْتَارَ أَنْ لَا يَقْنُتَ، وَلَمْ يَرَ ابْنُ الْمُبَارَكِ الْقُنُوتَ فِي الْفَجْرِ،
“(Hadits Abu Maalik Al-Asyja’iy di atas) diamalkan oleh kebanyakan ulama. Sufyaan Ats-Tsauriy berkata : ‘Apabila seseorang melakukan qunut di waktu shalat Shubuh, maka itu baik. Jika tidak melakukannya, itu pun baik’. Ia (Ats-Tsauriy) memilih untuk tidak qunut. Ibnul-Mubaarak tidak berpendapat adanya qunut pada shalat Shubuh” [Jaami’ At-Tirmidziy, 1/426-427].
Semua berbicara sesuai dengan ilmu dan ijtihadnya. Bebas berpemahaman sesuai dengan koridor keilmuan.
Tapi mari kita lihat sebagian gambaran realitas di lapangan – yang sebenarnya bagi non-tradisionalis – tak terlalu dibawa pikiran:
Tak begitu masalah, tapi silakan rasakan taste-nya…
Coba perhatikan pula model rekayasa lawakan dai tentang anak yang mau membunuh bapaknya dalam video di bawah (00:58 – 01:30):
Semua aliran Islam, semua sesat kecuali NU katanya (he he he he…. – menit 02.22 – 02.43). Dai di atas juga mencontohkan sesuatu yang sangat merendahkan Muhammadiyyah – yang mungkin kalau benar ceritanya itu – sifatnya kasuistik. Tentang kasus siswi sekolah Muhammadiyyah yang ‘meteng’ (hamil) 4 bulan karena dikerjai temannya (02:50 – dst). Tapi kalau madrasah yang dibina NU, insya Allah tidak ada, kata beliau. Sangat mudah sebenarnya membantah klaim tak berbobot ini, tapi biarlah.
Yang seperti ini banyak.
Pengurus NU mengeluh banyak masjid NU yang ‘direbut’ oleh orang selain NU. Modusnya katanya:
“munculnya seseorang yang dengan sukarela membantu membersihkan masjid, lalu membantu adzan, diteruskan dengan mengajak temannya untuk menjadi khotib dan akhirnya merubah seluruh kepengurusan takmir masjid dan tatanan peribadatan yang selama ini sudah berjalan dengan baik. Kemunculan kasus seperti ini akhirnya menimbulkan resistensi di masjid-masjid yang lain yang sebelumnya cukup terbuka dengan alasan untuk menjaga eksistensi peribadatan yang sudah ada dan diyakini kebenarannya”
“Banyak masjid dan mushola NU yang direbut mereka. Istilahnya, mereka tidak bisa membangun masjid sendiri, bisanya cuma merebut masjid milik orang lain. Ingin enaknya sendiri,” ujar Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars itu”
Mari kita nalar. Seandainya masjid tersebut aktif dan jama’ah NU konsisten, tentu tidak terjadi apa yang mereka namakan ‘perebutan’. Kenyataan di lapangan dari istilah ‘perebutan’ itu lebih ke arah revitalisasi masjid yang sebelumnya minim jama’ah, vakum kegiatan, dan vakum kepengurusan. Atau, warga sekitar masjid atau jama’ah masjid tidak (lagi) didominasi orang NU. Ada perubahan dan dinamika. Anehnya, setelah aktif dan ramai jama’ah, sebagian oknum ‘nun jauh di sana’ yang tidak menjadi bagian dari masjid tersebut merasa direbut masjidnya. Dalam sebagian kasus, lantas rame-ramegalang massa mendemo orang yang mengaktifkannya (sebagaimana yang dialami H. Darim yang disebutkan sebelumnya). Ketika publikasi ke khalayak, merekalah yang (seakan) merasa didhalimi para perebut masjid itu. Memang menyedihkan dan sekaligus mengesalkan.
Tapi klaim tersebut sangat dipahami. Jangankan yang tidak ‘punya’ masjid, yang jelas-jelas ‘punya’ masjid saja dapat mereka duduki paksa dan didemo untuk dihentikan kegiatannya.
Mungkin, kegusaran mereka bertambah dengan kehadiran beberapa stasiun TV dan Radio dakwah ‘Wahabi’, semisal TV dan Radio RODJA. Alhamdulillah, TV dan Radio Rodja mendapatkan animo sangat besar dari masyarakat hingga ke wilayah pedalaman.
Seandainya segala kegusaran mereka hanya ditindaklanjuti di tataran ilmiah (bantahan), tak ada soal. Ataupun maksimal, mereka katakan ‘Wahabi’ sesat, itu pun tak begitu merisaukan karena memang telah eksis semenjak jaman purba.
Kita tak pernah memaksa mereka untuk mengatakan ‘Wahabi’ itu baik hati, tidak sombong, dan gemar menabung. Tapi kiranya, jangan ikuti semua itu dengan hasutan, provokasi, ngarang cerita alias ndabul, demonstrasi, pengambilalihan paksa (secara fisik) tanah waqaf dan masjid, atau perobohan masjid seperti yang sudah-sudah. Ahmadiyyah yang jelas-jelas kafir dapat nyaman dengan perlindungan Anshor/Banser, tapi ‘Wahabi’ yang statusnya masih muslim selalu merasa gelisah bertetangga dengan mereka. Rasa-rasanya, sangat jarang terdengar ormas NU, para habaaib, dan pasukan Banser yang konon sakti mandraguna melindungi orang-orang Wahabi, atau yang belakangan mereka sebut ‘Salafi’.
Ironi toleransi pilih kasih…..
‘Wahabi’ yang katanya suka mengkafirkan, malah sering mengkampanyekan ‘peperangan’ terhadap golongan takfiri, diantaranya ISIS, LDII, dan yang lainnya. LDII, kelompok takfiri produk lokal, hampir tak tersentuh oleh kaum tradisionalis. ‘Wahabi’ bermitra dengan kepolisian untuk melakukan deradikalisasi dan detakfirisasi. Ini fakta, bukan sekedar ‘lamis-lamis lambe’ alias lips service. Dai ‘Wahabi’ sering dipanggil ngisi ceramah agama bersama pejabat negara atau di lembaga milik negara.
Wallaahul-musta’aan….
[abul-jauzaa’ – 19 Dzulhijjah 1438].
عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَرْمَلَةَ، عَنِ ابْنِ الْمُسَيِّبِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " لا صَلاةَ بَعْدَ النِّدَاءِ، إِلا رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ "