Syaikh Shalih Al 'Ushaimi dalam salah satu dars-nya menjelaskan bahwa ilmu nahwu itu mudah, jika cara belajarnya benar. Di antara cara belajar yang benar adalah dengan:
1. Memfokuskan pada bab yang sedang dibahas dan tidak beralih ke bab yang lain meskipun memungkinkan. Contoh: ketika bab Fa'il, diberikan contoh jaa-a Muhammadun. Maka guru hanya menjelaskan fa'il-nya saja (Muhammadun) berikut hukum2nya, tidak menjelaskan fi'il-nya (jaa-a) atau yang lainnya. Karena bolak-balik menjelaskan bab yang berbeda dalam satu waktu, akan melemahkan pemahaman.
2. Membaca kitab-kitab ulama yang telah diberi harakat, terutama oleh penulisnya sendiri, bukan oleh percetakan. Di antara kitab-kitab tersebut adalah yang ditulis oleh Syaikh Abdul Aziz As Salman -rahimahullah- dimana beliau mengharakati kitabnya dengan tangan beliau sendiri.
3. Tidak pernah lepas dari penerapan nahwu ketika membaca. Setiap menjumpai kalimat, ia mencoba meng-i'rab-nya.
4. Niatkan belajar nahwu untuk bisa memahami Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, dengan itu akan dimudahkan baginya.
Allah Ta'ala berfirman: وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Quran untuk menjadi pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? (QS Al Qamar: 17)
Pesan lain dari beliau, hendaknya seseorang bersikap tawadhu' dengan ilmu yang sudah dipelajari dan dipahaminya, karena keterampilan lisan bisa membuat seseorang menjadi sombong dan takabur. Itu sebabnya sebagian pengarang kitab nahwu mengakhiri bukunya dengan bab khafdh (atau jar menurut istilah bashriyyun), yang maknanya adalah "menjadikan rendah", maksudnya supaya yang mempelajarinya bersikap rendah hati atas ilmu yang telah dikuasainya.
Sumber: https://www.facebook.com/ristiyan.ragil/posts/10154508104238190
1. Memfokuskan pada bab yang sedang dibahas dan tidak beralih ke bab yang lain meskipun memungkinkan. Contoh: ketika bab Fa'il, diberikan contoh jaa-a Muhammadun. Maka guru hanya menjelaskan fa'il-nya saja (Muhammadun) berikut hukum2nya, tidak menjelaskan fi'il-nya (jaa-a) atau yang lainnya. Karena bolak-balik menjelaskan bab yang berbeda dalam satu waktu, akan melemahkan pemahaman.
2. Membaca kitab-kitab ulama yang telah diberi harakat, terutama oleh penulisnya sendiri, bukan oleh percetakan. Di antara kitab-kitab tersebut adalah yang ditulis oleh Syaikh Abdul Aziz As Salman -rahimahullah- dimana beliau mengharakati kitabnya dengan tangan beliau sendiri.
3. Tidak pernah lepas dari penerapan nahwu ketika membaca. Setiap menjumpai kalimat, ia mencoba meng-i'rab-nya.
4. Niatkan belajar nahwu untuk bisa memahami Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, dengan itu akan dimudahkan baginya.
Allah Ta'ala berfirman: وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Quran untuk menjadi pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? (QS Al Qamar: 17)
Pesan lain dari beliau, hendaknya seseorang bersikap tawadhu' dengan ilmu yang sudah dipelajari dan dipahaminya, karena keterampilan lisan bisa membuat seseorang menjadi sombong dan takabur. Itu sebabnya sebagian pengarang kitab nahwu mengakhiri bukunya dengan bab khafdh (atau jar menurut istilah bashriyyun), yang maknanya adalah "menjadikan rendah", maksudnya supaya yang mempelajarinya bersikap rendah hati atas ilmu yang telah dikuasainya.
Sumber: https://www.facebook.com/ristiyan.ragil/posts/10154508104238190